Daftar Review

Senin, 26 Oktober 2015

Berburu Ko Alex

Hmm, lebay banget nggak sih judulnya? Ha ha.. Tapi memang kenyataannya begitu. Jadi setelah melihat pengumuman dari Gagas kalau akan ada Meet and Greet bersama Ko Alex di Gramedia Matraman pada 18 Oktober 2015, saya  semangat banget. Kebetulan saya juga mau survei lokasi tempat saya observasi nanti, di Matraman juga. Langsung deh dari rencana ke Matraman hari Sabtu, diganti jadi hari Minggu.

Setelah menunggu beberapa hari dan ngebongkar novel SOWK dari ransel, hari Minggu pun tiba *tralala trilili tiup terompet* Ngomong- ngomong soal SOWK, nggak tahu kenapa novel itu yang saya masukkan ke ransel sewaktu berangkat dari Medan. Awalnya mau bawa beberapa novel. Tapi apa daya, kapasitas ransel tak mencukupi. Jadinya hanya satu novel yang dibawa, dan SOWK yang jadi pilihan.

Kembali ke cerita ya. Acara dimulai jam dua siang sementara pada saat itu saya dan teman- teman masih menunggu busway di halte. Alamat nggak sempat nih. Saat bus sudah mau masuk ke arah BNN, saya malah merasa seperti Kenzo yang mau bertemu Hava tapi tak jadi *tambah lebay XD*

Kami tiba di Gramedia Matraman pada pukul empat sore. Bisa dibayangkan kan? Benar saja, pas naik ke lokasi M&G, petugas sedang merapikan kursi #hancurberkepingkeping. Teman- teman yang lain menghibur saya. Saya agak gimana gitu, tapi ya ikhlasin aja lah. Belum jodoh ketemu kokonya. Ha ha..

Saat hendak turun, saya melihat Mas berseragam Gramedia sedang membawa dua buah novel SOWK dan novel kuning (baca: The-Not-So-Amazing Life of @amrazing ) kesukaan saya itu. Saya mencoba bertanya lagi, meski nggak yakin sama jawaban Mas itu.

Ternyata si Mas memberikan jawaban yang kece. Katanya acara sudah selesai tapi koko masih makan di Killiney. Langsung cuss. Turunlah hingga lantai dasar. Loh kok Killiney-nya nggak ada? Ternyata di lantai 1. Kami pun naik eskalator lagi. Ketemu. Killiney-nya.

Minggu, 18 Oktober 2015

Food Library : Menikmati Suasana Perpustakaan Sambil Mengenyangkan Perut

Hai hai, rasanya saya jarang sekali memposting review di luar review novel yang saya baca ya. Kali ini, saya mau sharing tentang tempat makan dengan desain yang unik. Berbau buku juga. Baiklah, saya mulai saja review singkat ini  ^^

Saat berkeliling di lantai empat Mal Ciputra Jakarta, ada yang menarik perhatian saya dan teman- teman. Di seberang eskalator tertulis ‘Food Library’. Sebagai penyuka hal- hal yang berbau buku, saya langsung semangat dong. Tapi kami tidak mampir ke sana. Rasa penasaran saya ditahan dulu. Hanya lewat depannya saja. Besok malamnya saya dan teman saya pergi lagi ke Mal Ciputra. Kali ini rasa penasarannya terbayarkan.

Ternyata Food Library merupakan sebuah food court yang didesain dengan konsep perpustakaan. Meskipun tidak ada buku asli yang bisa kita lihat, tapi cukup menarik. Di setiap stan makanan terdapat deretan dummy buku- buku dan beberapa memajang dummy makanan yang mereka jual. Pilar- pilarnya juga ditempel stiker bergambar buku sehingga tampak menyerupai rak buku perpustakaan dengan lampu- lampu yang meneranginya.

mau bayar berasa mau pinjam buku.. ha ha..
suasananya ramai :)
\

Menunya juga variatif. Dari makanan khas Indonesia, Barat, Jepang, hingga Chinese (non- halal), semua ada di sini. Saya sendiri memesan dragon roll (yang lumayan lama datangnya >__< tapi untungnya enak), teman saya memesan nasi campur (non-halal), dan adiknya memesan Tekwan. Banyak menu yang bisa teman- teman pilih, jadi tinggal pesan sesuai dengan keinginan.
maafkan kualitas fotonya >,<

Tertarik mengunjungi Food Library? Bagi teman- teman yang mampir ke Jakarta, bisa coba ke sini. Lokasinya ada di Mal Ciputra, Grogol, Jakarta Barat. Happy hunting  :D

Rabu, 07 Oktober 2015

Somewhere Only We Know - Alexander Thian

Judul                     : Somewhere Only We Know
Pengarang          : Alexander Thian
Penerbit              : GagasMedia
Tebal                     : 338 halaman

Sinopsis :

Kenzo
Menyusuri jalanan Hanoi yang basah,
menerobos hujan yang masih turun dengan deras.
Gue melangkah tanpa peduli ke mana kaki membawa gue pergi.
Lampu kuning jalanan membuat jejak- jejak rintik hujan tampak jelas.
Entah karena gue yang delusional atau terlalu romantis menjijikkan,
gue setengah berharap dia akan muncul di ujung jalan,
bersandar pada tiang lampu, membawa payung, lalu tersenyum melihat gue.

Ririn
Kenangan itu masih sejelas dan sebening film yang berformat blu-ray. Gue tertawa kecil ketika membuka pintu taksi, membayangkan wajah aneh Arik sore itu. Dalam perjalanan pulang, gue bermimpi tentang berdansa di awan, sementara kembang api meledak- ledak di sekitar gue dan Arik.
Arik, can we be infinite?
Most of all, is this the love we think we deserve?

ÐÑ

Bagi Kenzo, cinta ibarat secangkir kopi.
Terkadang terasa pahit, tetapi tetap memiliki banyak lapis rasa.
Bagi Ririn, kakak Kenzo, cinta hanya memiliki dua rasa: pahit dan manis.
Meski Kenzo meyakinkan selalu ada ruang untuk dongeng cinta, Ririn berusaha melupakan cinta karena pahitlah yang mendominasi kisahnya.

Ketika cinta benar- benar ada di hadapan keduanya, mampukah mereka menerima dan memperjuangkannya?

Review :
Mari berkenalan dengan kakak beradik yang mengalami lika- liku dalam menggapai cinta dalam hidup mereka: Ririn dan Kenzo. Ririn di usianya yang sudah hampir menginjak kepala tiga masih saja kekanak- kanakan dan belum menemukan tambatan hatinya. Sementara Kenzo, adiknya, menyimpan kesedihan akibat jatuh cinta, ditinggalkan, jatuh cinta lagi, dan ditinggalkan lagi.

Namun keajaiban selalu ada. Ririn, yang saat itu tengah berlibur sendiri, bertemu dengan seorang pria yang awalnya dibencinya. Kebetulan- kebetulan mempertemukan mereka hingga Ririn tahu bahwa pria yang sebenarnya tampan tapi ia anggap menyebalkan adalah idolanya, blogger favoritnya. Arik, nama asli Silver Shadow, ternyata memerhatikan setiap komentar yang ditulis oleh Ririn.

Hubungan mereka pun dimulai. Kekaguman Ririn bertambah ketika Arik menceritakan dongeng- dongeng – yang menurut Ririn – ajaib. Hanya dalam waktu singkat, mereka sudah berpacaran meski tidak ada acara tembak- tembakan ala ABG.

Jauh di sana, Kenzo yang saat itu baru kembali dari Viet Nam menyimpan luka. Ia jatuh cinta pada pria yang belum pernah ia temui sebelumnya. Pria itu bernama Hava. Hava sering melihat Kenzo tetapi Kenzo bahkan belum pernah bertemu dengannya sekalipun. Kenzo hanya berkomunikasi melalui telepon, surel, dan aplikasi chatting. Itu saja sudah membuat Kenzo senang dan bahagia.